PERTENGAHAN pekan lalu dipublikasikan beberapa foto yang menunjukkan beberapa orang suku terasing yang tinggal di kawasan hutan rimba di wilayah dekat Peru.
Pada foto yang dipublikasikan Kamis (29/5) oleh organisasi Survival International tampak suku terasing Envira yang sebelumnya tak pernah melakukan kontak dengan dunia luar. Mereka difoto dari pesawat pada Mei 2008 di atas perkampungan mereka di Terra Indigena Kampa e Isolados do Envira, negara bagian Acre, Brasil, yang berbatasan dengan Peru. (AP Photo/Gleison Miranda)
Foto tersebut mengundang reaksi beragam terhadap keberadaan suku terasing, terutama terkait dengan perambahan hutan secara cepat oleh aktivitas ekonomi. Kebanyakan reaksi tersebut mengkhawatirkan kepunahan suku-suku tersebut jika mereka sampai terhubung dengan dunia luar.
Foto yang diambil sekitar akhir April atau awal Mei tersebut menunjukkan sosok beberapa orang suku Indian dalam kondisi telanjang dan badannya dicat dengan warna merah. Mereka membawa busur dan anak panah. Mereka berada di luar rumah, ada sekitar enam rumah, yang dibuat dari tumbuhan rumput-rumputan.
Mereka diperkirakan merupakan sisa-sisa dari suku terasing yang sudah terdesak, semakin masuk ke pedalaman hutan akibat perambahan hutan oleh para pendatang yang membuka hutan untuk permukiman atau eksploitasi sumber daya alam.
Yayasan Indian Nasional Brasil memperkirakan, di seluruh Brasil kelompok-kelompok suku terasing yang masih eksis ada sekitar 68 kelompok suku terasing, tetapi hanya 24 suku terasing yang dapat dipastikan. Pemerintah Brasil sendiri pernah mencoba membuka kontak untuk suku-suku terasing, tetapi akhirnya pemerintah memilih untuk melindungi mereka dengan mengisolasi mereka dari dunia luar.
”Saat ini dari arah Brasil belum ada penebangan hutan. Saya tegaskan, ’belum’,” ujar koordinator pemerintah untuk perlindungan empat suku terasing pada Yayasan Indian Nasional Brasil, Jose Carlos Meirelles, Jumat (30/5). Menurut Badan Perlindungan Lingkungan Brasil, pihaknya telah menutup 28 usaha penggergajian di negara bagian Acre—lokasi tempat suku terasing tersebut tampak.
Empat suku terasing yang termonitor oleh yayasan tersebut mencakup sekitar 500 orang yang tersebar di kawasan seluas sekitar 630.000 hektar. Tentang suku terasing yang tertangkap kamera baru-baru ini, Meirelles menduga mereka memiliki hubungan dengan suku Tano dan Aruak.
Tahun 1998 sekitar 200 suku terasing ditemukan di negara bagian Acre di dekat perbatasan Brasil-Peru. September tahun lalu, para ahli lingkungan yang menyasar para perambah hutan liar menemukan sekelompok suku nomad (hidup berpindah- pindah) di dalam hutan Amazon.
Selama lebih dari 20 tahun terakhir, Meirelles mencatat, jumlah ”maloka” (malocas)—bangunan pondok dari tumbuhan—menjadi dua kali lipat. Dia menduga kebijakan perlindungan dan isolasi telah berhasil meningkatkan populasi suku-suku terasing tersebut. Namun, persoalannya tidak lagi semudah dulu karena tantangan dari luar membuat persoalan menjadi semakin kompleks.
Kelompok suku terasing tersebut selama ini ”menghilang”, tetapi kemungkinan besar sebenarnya mereka sudah membuka kontak dengan kelompok-kelompok suku terasing lainnya. Sebenarnya, keberadaan mereka selama ini bukannya tidak diketahui. Beberapa antropolog bahkan menyatakan sudah mengetahui keberadaan suku tersebut sejak sekitar 20 tahun lalu.
Pembukaan hutan
Aktivitas ekonomi yang semakin gencar merambah hutan merupakan salah satu ancaman serius akan eksistensi kaum suku terasing. Mereka yang selama ini tenang berdiam di hutan Amazon bakal terusik kehidupannya dan bukan tidak mungkin mereka akan dengan cepat punah. Awalnya adalah pembukaan hutan yang kemudian disusul oleh kontak dengan orang asing.
Jalan baru yang dibangun dari Peru ke wilayah Acre telah membawa banyak kelompok orang miskin masuk ke daerah bekas hutan tersebut. Sebuah jalan sepanjang 50 kilometer telah menyebabkan hutan di kanan kiri jalan ditebang.
Dalam kejadian seperti itu, pada umumnya suku terasing tersebut melakukan perlawanan. Wajah Meirelles pernah terkena panah dari orang suku Indian pada tahun 2004. Yang terancam adalah suku-suku Indian. ”Kontak pertama sering kali keras dan katastrofe (menjadi bencana besar) bagi suku-suku terasing. Biasanya sekitar setengah dari jumlah mereka mati pada bulan-bulan pertama terjadi kontak,” ujar seorang aktivis kampanye hak-hak asasi Indian dari Survival International, Miriam Ross. ”Mereka biasanya tidak memiliki kekebalan terhadap penyakit yang ada di luar wilayah tinggal mereka. Flu dan demam bisa menjadi fatal dan membawa kematian bagi mereka,” tuturnya. Hal seperti itu terjadi ketika suku Murunahua di Peru membuka kontak akibat pembangunan pada tahun 1996. Lebih dari separuh orang Murunahua meninggal karena demam.
Dari catatan Survival International, diduga sekitar 100 kelompok suku terasing di seluruh dunia—lebih dari 50 di antaranya hidup di kawasan Amazon—tak melakukan kontak dengan orang luar. Suku yang benar-benar belum pernah terjamah adalah suku Sentinelese yang hidup di Pulau Sentinel Utara di luar pantai India. Mereka selalu memanahi orang-orang dari luar yang mencoba masuk ke wilayah tinggal mereka.
Tahun lalu, suku Metyktire yang beranggotakan sekitar 87 orang ditemukan di sebuah hutan yang amat lebat di salah satu bagian di hutan Menkregnoti yang luasnya 4,9 juta hektar— wilayah ini adalah wilayah reservasi Indian di Amazon Brasil. Mereka ditemukan ketika dua anggotanya berkunjung ke desa suku lain.
Persoalan menjadi berbeda ketika dihadapkan dengan kondisi di Peru yang kebijakan pemerintahnya tidak sama dengan Brasil. Menurut David Hill dari Survival International, ”Banyak kegiatan penebangan hutan di wilayah Peru. Hal itu membawa berbagai dampak buruk bagi suku-suku terasing yang hidup di sana. Hal itu memunculkan konflik dan kematian,” ujarnya. Selama ini kegiatan penebangan hutan dari arah Peru telah mendorong suku-suku terasing masuk ke wilayah Brasil.
Meirelles menegaskan, suku-suku terasing itu sebaiknya dibiarkan hidup dengan caranya sendiri. ”Selama kita dihadapkan dengan anak panah, itu oke-oke saja. Namun, begitu mereka bersikap baik, habislah mereka,” ujarnya.
Kontak dengan orang luar amat merugikan bagi suku-suku Indian Brasil. Kini jumlah mereka tinggal sekitar 350.000 orang—bandingkan dengan jumlah 5.000.000 orang suku terasing ketika orang Eropa pertama kali mendarat di sana. ”Dalam 508 tahun perjalanan sejarah, tidak sampai ribuan warga suku terasing yang eksis yang bisa beradaptasi dengan baik di Brasil,” tutur Sydney Possuelo, mantan pejabat Badan Perlindungan Indian Brasil.
Pertanyaan etis tentang situasi tersebut, menurut antropolog Thomas Lovejoy antara lain adalah, ”Apakah kita bisa menahan mereka dari kontak dengan orang luar? Jawabnya adalah tidak.”
”Jawaban yang benar adalah menciptakan kontak dan perubahan yang prosesnya dikelola sendiri oleh mereka,” ujar Lovejoy. Sebuah harapan yang (mungkin) mustahil?—mengingat betapa rakusnya manusia.... (RTR/AP/ISW)
[ X ] Close
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar